Banyak yang bilang kalau kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang, tapi uang bisa beli macam-macam hal yang membuat kita bahagia. Sebuah pribahasa miris jaman now. Memang, sih, tidak bisa dipungkiri, uang menjadi salah satu faktor penting di dalam hidup kita. Hampir setiap aspek di hidup kita “membutuhkan” uang. Biaya sekolah, berobat, bahkan paket internet yang kamu beli untuk bisa membaca artikel ini dibeli dengan uang. Tapi, bagaimana ya asal-usul terciptanya uang?
Seperti yang kita ketahui bersama, pada zaman dahulu, manusia memenuhi kebutuhan dengan cara berburu. Kehidupan zaman dulu memang tidak sekompleks sekarang. Mereka menangkap hewan untuk bisa makan. Manusia tinggal di goa atau membuat tenda-tenda sebagai tempat berlindung. Semua orang (atau dalam kelompok) membuat pakaian sendiri. Minum dari sungai-sungai dan hidup dengan cara berpindah-pindah.
Pada masa ini, jelas bahwa uang belum ada. Bahkan benda yang dijadikan alat tukar saja belum ada. Masyarakat pada zaman itu belum terpikirkan untuk membuat alat transaksi yang bisa digunakan secara universal.
Seiring berjalannya waktu, manusia mulai hidup menetap. Orang-orang kemudian memproduksi sendiri kebutuhannya. Mereka berkebun, beternak ikan, dan tidak lagi terus-menerus mengambil hasil alam begitu saja untuk memenuhi kebutuhannya.
Sistem Barter
Masalah mulai timbul saat jumlah populasi manusia di satu daerah semakin tinggi. Lahan dan sumber alam lainnya semakin sedikit. Barang-barang yang mereka produksi sulit memenuhi semua kebutuhannya. Mereka membutuhkan hasil produksi orang lain supaya kebutuhannya tercapai.
Misalnya, ada orang yang paham cara beternak sapi, tapi tidak tahu cara menanam bawang. Akhirnya, mereka harus sepakat untuk menukarkan apa yang mereka punya dengan barang milik orang lain agar kebutuhannya terpenuhi.
Peristiwa tukar-menukar ini dinamakan dengan sistem barter.
Awalnya, mereka merasa kalau barter adalah jawabannya. Mereka jadi bisa saling “menutupi” kebutuhan satu sama lain. Orang-orang bisa pergi ke pasar dan membawa barang-barang mereka, berharap menemukan orang yang membawa barang yang mereka butuhkan dan mau ditukar.
Tentu, praktek barter ini tidak semudah teorinya.
Garam
Semakin lama, kelemahan sistem barter semakin terlihat: mereka semakin sulit menemukan orang yang ingin ditukarkan barangnya.
Contoh: Seperti gambar di atas. Seseorang memiliki seekor sapi yang ingin ditukar dengan barang kebutuhan lainnya, misalnya beras. Orang lain tentu mau menukar 10 kg berasnya dengan seekor sapi (walau jaman itu tentu belum ada timbangan). Tapi pemilik sapi sendiri jelas akan merasa rugi.
Demi mengatasi masalah ini, maka terjadilah kesepakatan bahwa barang yang langka dapat ditukarkan dengan bermacam-macam barang, karena barangnya langka dan dibutuhkan banyak orang. Barang-barang yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah barang yang diterima dan dibutuhkan oleh umum. Biasanya barang tersebut bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau barang-barang yang merupakan kebutuhan utama sehari-hari.
Bangsa Romawi, misalnya. Pada akhirnya menjadikan garam sebagai alat tukar mau pun sebagai alat pembayaran upah di masanya.
Kamu mungkin berpikir “Emangnya garam berharga banget ya?” atau “Untuk beli satu sapi butuh berapa garam?” Jawabannya adalah, karena pada masa itu, garam cenderung mudah didapatkan dan diproduksi.
Pengaruh orang Romawi tersebut meluas, sampai orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam. Karena garam dibutuhkan oleh banyak orang dan tidak semua orang memiliki garam. Apalagi yang jauh dari laut.
Garam dan barang lain yang berfungsi sebagai alat tukar ini pada awalnya menjadi alternatif manusia untuk melakukan transaksi. Namun, masalah kembali ditemukan. Barang-barang ini tidak punya daya tahan yang cukup lama.
Seiring perkembangan zaman, barang-barang ini pun digantikan oleh logam seperti emas, perak, dan tembaga. Alasannya, tentu karena emas dan perak mempunyai nilai dan daya tahan yang lama. Pada masa inilah manusia lepas dari sistem transaksi tukar-menukar barang.
Uang Logam
Uang logam pertama kali dibuat oleh Bangsa Lydia pada Abad ke-6 sebelum masehi. Uang logam yang mereka ciptakan terbuat dari elektrum, suatu bahan yang merupakan campuran emas dan perak dengan komposisi emas 75% dan perak 25%. Uang logam itu disebut “stater” atau “standard” dengan bentuk bulat pejal seperti kacang polong.
Kemudian, Bangsa Yunani melihat uang logam tersebut dan membuat uang logam versi mereka sendiri. Selanjutnya Bangsa Yunani lebih dikenal sebagai bangsa pembuat uang logam karena mereka membuat uang logam dengan berbagai gambar yang menarik. Jaman dulu, uang dihargai sesuai dengan nilai bahan penyusunnya.
Masalahnya, logam tidak cocok untuk transaksi dalam jumlah besar. Bayangkan kalau harus membeli hewan ternak dengan recehan. Butuh berapa karung? Selain merepotkan, logam punya kekurangan yakni berat, perlu ruang yang besar, dan jumlah pengangkut yang banyak.
Uang Kertas
Karena jumlah emas atau perak yang terbatas dan lagi dalam pembayaran yang berjumlah banyak akan mengalami kesulitan, maka ditemukannya kertas surat kepemilikan emas sebagai ganti alat tukar logam. Dalam perkembangannya manusia lebih senang menggunakan kertas surat tanda kepemilikan emas atau perak sebagai alat pembayaran yang dapat diterima, karena praktis, maka dibuatlah uang kertas senilai emas atau logam mulia yang dimiliki seseorang. Kertas ini dianggap berharga, Karena kertas tersebut diakui sebagai tanda bukti kepemilikan logam emas dan perak.
Kertas inilah yang selanjutnya menjadi cikal-bakal uang kertas.
Dalam sejarah pemakaian kertas sebagai bahan uang, Cina dianggap sebagai bangsa yang pertama kali membuatnya, yaitu sekitar abad pertama Masehi, pada masa Dinasti Tang. Uang kertas ini dibuat dari pohon mulberry yang kualitasnya belum bagus.
Berabad-abad kemudian, sekitar abad ke-17 barulah uang kertas dibuat dengan cara dicetak. Benjamin Franklin kemudian disebut sebagai Bapak Uang Kertas karena dialah orang yang pertama kali mencetak dollar dengan kertas.
Setelah masa itu, barulah manusia membuat uang kertas yang dicetak menggunakan alat cetak sebagai alat pembayaran yang sah sampai sekarang.
Di Indonesia sendiri, mata uang yang beredar pertama kali disebut dengan Oeang Republik Indonesia (ORI). ORI ditetapkan pada tanggal 29 Oktober 1946, dan beredar di seluruh Indonesia keesokan harinya. Barulah setelah itu melewati proses yang panjang hingga akhirnya de Javasche Bank berubah nama menjadi Bank Indonesia yang menjadi Bank Sentral di Indonesia. Bank inilah yang pada akhirnya menentukan harga, ciri, dan bahan uang yang digunakan sampai saat ini.
Uang Elektronik
Mata uang elektronik dimulai keberadaannya dengan peningkatan penggunaan komputer.
Penggunaan uang kertas semakin lama semakin tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan padat. Jumlah yang dibutuhkan semakin besar dari setiap transaksinya. Belum lagi membawa-bawa uang tunai mulai terasa tidak aman dan tidak praktis.
Perkembangan dunia perbankan, di mana hampir setiap orang sudah memiliki rekening bank menawarkan solusi baru. Pada masa ini cukup dengan klik pada tombol, menggesek kartu plastik di toko atau hanya menggunakan perangkat untuk pembayaran dan jumlah uang yang diperlukan akan dihapuskan dari rekening yang bersangkutan.
Pada tahun 1861 Western Union menunjukkan orang transfer telegraf uang, yang menjadi fajar uang elektronik. Pada tahun 1991 Advanced Research Projects Agency telah memperkenalkan jaringan Arpanet - jaringan set yang terdiri Internet global. Pada tahun 1992 America Online mengambil keuntungan dari Internet baru dan mulai menawarkan layanan ritel langsung ke pelanggan mereka, orang bisa membayar menggunakan kartu kredit. PayPal diluncurkan pada tahun 1998, yang membuat proses pembayaran yang nyaman dan mudah dan dengan risiko lebih kecil dari pencurian nomor kartu kredit.
Sejak itu, banyak dari mata uang elektronik diciptakan: Skrill, C-Gold, Perfect Money dan sebagainya.
Kemudahan untuk melakukan transaksi, yang membutuhkan waktu hanya beberapa detik atau menit adalah hal yang dijanjikan bagi komunitas millennia yang sibuk dan sangat menyenangi segala hal yang sifatnya praktis. Bayangkan saja, di masa ini kita tidak lagi harus membawa-bawa sekoper uang untuk membeli barang jutaan atau…milyaran rupiah.
Karena itu, meskipun penggunaan uang elektronik belum sepenuhnya diterima masyarakat, tuntutan efisiensi bukan tidak mungkin akan menjadikannya kebutuhan dasar di masa depan.
Sumber :
blog.ruangguru.com
cara-123.blogspot.com
sains.me
unichange.me
No comments:
Post a Comment