Kebijakan menggunting uang? Maksudnya hanya kiasan kan? Nggak
mungkin benar digunting kan? Nanti uangnya jadi nggak laku dong?!
Yap. Nama kebijakan moneter ini sesuai dengan apa yang
diperintahkan pemerintah waktu itu. Dengan kata lain, “Uangnya benar-benar digunting!”
(Baca juga: Kebijakan Moneter)
Kebijakan Gunting Syafruddin
Gunting Syafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan
oleh Syafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan
pada masa Kabinet Hatta II. Kebijakan Gunting Syafruddin merupakan salah satu
usaha untuk memperbaiki perekonomian Indonesia sekitar tahun 1950 akibat agresi
militer pada 1947 dan 1949, yang mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi
berat.
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi
Indonesia yang saat itu sedang terpuruk – utang menumpuk, inflasi tinggi, dan
harga melambung. Untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar 5,1 miliar
rupiah, Menteri keuangan saat itu, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan
RIS Nomor PU 1, melakukan tindakan pemotongan uang. Kebijakan ini merupakan
kebijakan mata uang pertama di Indonesia, sekaligus kebijakan yang mengejutkan
banyak pihak kala itu. Bayangkan saja, bukan cuma nilai mata uang yang
dipangkas, fisik alis lembar uangnya pun benar-benar
dipotong!
Uang De Javasche Bank |
Uang NICA (Netherland-Indies Civil Administration) |
Kebijakan ini mulai berlaku pada pukul 20.00 tanggal 10
Maret 1950. Menurut kebijakan ini, “uang merah” (uang kertas NICA pada waktu
itu) dan uang De Javasche Bank dari pecahan 5 gulden ke atas harus digunting
menjadi dua.
Kebijakan Gunting Syafruddin |
Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang
sah dengan nilai setengah dari nilai semula. Kemudian pada 22 Maret 1950 sampai
dengan 16 April 1950, bagian sebelah kiri ini sudah harus ditukarkan dengan
uang kertas yang baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditentukan. Jika lebih
dari tanggal tersebut belum ditukarkan, maka potongan uang tersebut dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat
ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan
dibayar 30 tahun kemudian dengan bunga sebesar 3% per tahun.
Kebijakan “Gunting Syafruddin” ini juga berlaku bagi
simpanan di bank. Pecahan Rp2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan,
demikian pula dengan uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Dengan mengambil kebijakan yang kontroversial ini,
Syafruddin bermaksud sekali melempar batu, dua burung kena. Beberapa sasaran
yang dituju adalah:
- Penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang
baru,
- Mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi
- Menurunkan harga
- Mengisi kas pemerintah dengan pijaman wajib yang besarnya
diperkirakan mencapai Rp 1,5 miliar.
Kebijakan ini dianggap tidak akan merugikan rakyat kecil
karena pada saat itu yang memiliki uang 5 gulden ke atas hanyalah orang kelas
menengah atas. Nah, kebijakan pro rakyat kecil yang sekaligus bisa mengatasi
masalah negara kan?
Selain kebijakan “Gunting Syafruddin” ini, kebijakan lain
yang diambil adalah “Sertifikat Devisa”. Kebijakan ini mewajibkan importir membeli
SD (Sertifikat Devisa) senilai harga barang yang hendak diimpor. Sedangkan para
eksportir, selain mendapatkan uang sebanyak harga barangnya, juga memperoleh SD
sebesar 50% dari harga ekspornya.
Syafruddin menyadari 2 kebijakan yang diambilnya ini
memberatkan para importir. Namun, ia tidak mau mengabaikan kepentingan para
petani yang yang menghasilkan sebagian besar barang ekspor.
Hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Kedudukan rupiah
menguat, harga barang terutama barang pokok tidak mengalami kenaikan, dan
pemasukan pemerintah naik berkali lipat dari Rp 1,871 miliar menjadi Rp6,990
miliar😊
Sumber:
Blog.ruangguru.com
https://id.wikipedia.org/wiki/Gunting_Syafruddin
No comments:
Post a Comment