Pernah merasa nilai uang Anda sangat sedikit padahal
nominalnya banyak? Misalkan saja, membeli satu unit HP model terbaru butuh
sekitar Rp10.000.000 padahal jika dibeli dalam dolar nilainya cukup $100.
Simpel. Tanpa banyak angka yang harus ditulis.
Redenominasi Rupiah: Mengubah Rp1.000 menjadi Rp1 |
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya.
Rencana pemerintah untuk melakukan redenominasi mata uang
rupiah sebenarnya bukan hal baru. Pada tahu 2010 silam, Gubernur BI saat itu,
Darmin Nasution sudah mengajukan rencana tersebut yang berlanjut hingga masa
kepemimpinan Agus Marto Wardojo.
Pada 2017 lalu, Agus Marto wardojo mengusulkan kepada
Presiden Jokowi agar pemerintah mengajukan RUU Redenominasi Rupiah kepada
parlemen.
Bank Indonesia (BI) sudah menyiapkan tahapan penyederhanaan
nominal mata uang rupiah atau redenominasi meski pun Rancangan Undang-Undang (RUU)
redenominasi baru akan masuk Program Legislasi Nasional (Proplegnas) untuk
dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Agus Marto wardojo, mengemukakan penyederhanaan nominal mata
uang rupiah sangat perlu dilakukan. Ini menyangkut efisiensi atas aktivitas
ekonomi. Jumlah 0 (nol) yang sangat banyak pada rupiah membuat sistem teknologi
yang terkait dengan pendataan dan informasi keuangan menjadi tidak efisien. Redenominasi
akan mensejajarkan rupiah dengan mata uang negara lain di dunia.
Bila pembahasan lancar, maka tahapan persiapan akan dimulai
pada 2018 dan 2019. Selanjutnya pada 1 Januari 2020 dimulai masa transisi. Masa
transisi membutuhkan waktu empat tahun, yang artinya sampai 2024. Dalam tahapan
tersebut nantinya akan berlaku rupiah lama dan rupiah baru, begitu juga dengan
harga barang dan jasa harus ada Undang-Undang yang mengatur pemasangan
harga-harga baru dan harga lama.
Selanjutnya, dalam 5 tahun setelahnya, yakni pada 2025
hingga tahun 2029 barulah memasuki tahap face
out. Ini merupakan tahap finalisasi berupa penarikan rupiah lama. Totalnya, ada
periode selama 11 tahun tahapan rencana ini akan berlangsung.
Redenominasi sebenarnya bukanlah hal baru bagi perekonomian
dunia. Sejak 1923, ada sekitar 50 negara yang melakukan kebijakan ini untuk
penyederhanaan nilai nominal uangnya. Jerman merupakan negara pertama yang
melakukannya. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah Jerman kala itu memutuskan
untuk memangkas 12 angka 0 (nol) dari nominal uangnya!
Jika merunut dari tahun 1998, ada sekitar 10 negara yang
melakukan redenominasi mata uangnya. Di antaranya termasuk Korea Utara, Rusia,
dan Turki. Masing-masing memangkas jumlah angka yang berbeda.
Redenominasi 10 negara sejak 1998 |
Di antara negara-negara tersebut tidak semuanya berhasil
menerapkan nominal barunya. Termasuk di dalamnya negara Argentina, Brasil,
Ghana, Rusia, dan Zimbabwe. Penyebab kegagalannya antara lain:
- Perekenomian yang tidak stabil.
- Waktu implementasi kebijakan kurang tepat, khususnya dalam hal tren fundamental perekonomian di negara masing-masing.
- Bank sentral terlalu ekspansif membiayai anggaran pemerintah (Zimbabwe).
- Kebijakan fiskal ekspansif (Brasil dan Zimbabwe) .
- Stok uang baru tidak tersedia saat warga ingin menukarkan uang (Rusia, Argentina, Zimbabwe, serta Korea Utara).
- Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.
Indonesia sendiri belum pernah melakukan redenominasi. Kebijakan
moneter yang pernah diambil adalah sanering.
Sanering merupakan kebijakan pemotongan nilai uang sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat.
Kala itu, kondisi perekonomian sedang tidak sehat, sehingga
pemerintah akhirnya mengambil kebijakan sanering yang dikenal dengan “Kebijakan
Gunting Syafruddin” untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat harga yang
melonjak.
(Baca juga: Kebijakan Gunting Syafruddin)
Sanering berbeda dengan redenominasi.
Pada kebijakan sanering, terjadi pemotongan nilai uang. Sebagai
contoh, pada kebijakan sanering, uang senilai Rp1.000 akan berkurang nilainya
menjadi (misalkan) Rp500. Nilai uang benar-benar berkurang. Sehingga jika
sebelumnya masyarakat bisa membeli sebuah kerupuk dengan uang Rp1.000 –nya,
maka setelah sanering berlaku, uang Rp1.000 tersebut akan dipotong nilainya
menjadi Rp500 sehingga tidak mampu lagi membeli sebuah kerupuk. Pada kebijakan
ini, harga tidak menyesuaikan sehingga daya beli masyarakat akan menurun.
Sedangkan pada redenominasi hanya terjadi pemotongan
nominal, nilai uang tetap. Contohnya, pada kebijakan redenominasi terjadi
pemotongan 3 digit nominal uang, sehingga uang Rp1.000 berubah menjadi Rp1. Walau
pun tampilan nominalnya berbeda, nilai uang ini tetap. Jika sebelumnya warga
bisa membeli kerupuk seharga Rp1.000 maka setelah kebijakan sanering masyarakat
tetap bisa membeli kerupuk dengan Rp1 (uang rupiah baru). Pada kebijakan ini,
harga-harga akan menyesuaikan sehingga daya beli masyarakat tetap.
Kebijakan redenominasi dinilai akan memudahkan pencatatan
keuangan. Dari nominal jutaan rupiah akan berubah menjadi ribuan rupiah tanpa
mengurangi nilainya.
Lalu bagaimana kabar rencana pemerintah untuk melaksanakan
redenominasi yang sudah sejak lama menjadi wacana ini?
Gubernur Bank Indonesia terpilih untuk periode 2018 - 2023,
Perry Warjiyo, mengakui, rencana perumusan mengenai redenominasi mata uang
garuda tersebut sebelumnya sudah disampaikan kepada Pemerintah. Namun, untuk
proses selanjutnya, BI masih menunggu arahan Pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Keuangan.
Sedangkan Menteri Keuangan saat ini, Sri Mulyani, masih
menunda usulan RUU Redenominasi Rupiah tersebut lantaran masih belum menjadi
prioritas.
Kita tunggu saja, bagaimana perkembangan selanjutnya. Apakah
redenominasi rupiah akan direalisasikan atau kah tetap berkutat di meja
rencana😊
Sumber:
http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/04/04/bi-tunggu-keputusan-pemerintah-soal-redenominasi-rupiah.
No comments:
Post a Comment