Friday, December 7, 2018

Apa Kabar Redenominasi Rupiah?


Pernah merasa nilai uang Anda sangat sedikit padahal nominalnya banyak? Misalkan saja, membeli satu unit HP model terbaru butuh sekitar Rp10.000.000 padahal jika dibeli dalam dolar nilainya cukup $100. Simpel. Tanpa banyak angka yang harus ditulis.
Redenominasi Rupiah: Mengubah Rp1.000 menjadi Rp1

Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya.

Rencana pemerintah untuk melakukan redenominasi mata uang rupiah sebenarnya bukan hal baru. Pada tahu 2010 silam, Gubernur BI saat itu, Darmin Nasution sudah mengajukan rencana tersebut yang berlanjut hingga masa kepemimpinan Agus Marto Wardojo.

Pada 2017 lalu, Agus Marto wardojo mengusulkan kepada Presiden Jokowi agar pemerintah mengajukan RUU Redenominasi Rupiah kepada parlemen.

Bank Indonesia (BI) sudah menyiapkan tahapan penyederhanaan nominal mata uang rupiah atau redenominasi meski pun Rancangan Undang-Undang (RUU) redenominasi baru akan masuk Program Legislasi Nasional (Proplegnas) untuk dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Agus Marto wardojo, mengemukakan penyederhanaan nominal mata uang rupiah sangat perlu dilakukan. Ini menyangkut efisiensi atas aktivitas ekonomi. Jumlah 0 (nol) yang sangat banyak pada rupiah membuat sistem teknologi yang terkait dengan pendataan dan informasi keuangan menjadi tidak efisien. Redenominasi akan mensejajarkan rupiah dengan mata uang negara lain di dunia.

Bila pembahasan lancar, maka tahapan persiapan akan dimulai pada 2018 dan 2019. Selanjutnya pada 1 Januari 2020 dimulai masa transisi. Masa transisi membutuhkan waktu empat tahun, yang artinya sampai 2024. Dalam tahapan tersebut nantinya akan berlaku rupiah lama dan rupiah baru, begitu juga dengan harga barang dan jasa harus ada Undang-Undang yang mengatur pemasangan harga-harga baru dan harga lama.

Selanjutnya, dalam 5 tahun setelahnya, yakni pada 2025 hingga tahun 2029 barulah memasuki tahap face out. Ini merupakan tahap finalisasi berupa penarikan rupiah lama. Totalnya, ada periode selama 11 tahun tahapan rencana ini akan berlangsung.

Redenominasi sebenarnya bukanlah hal baru bagi perekonomian dunia. Sejak 1923, ada sekitar 50 negara yang melakukan kebijakan ini untuk penyederhanaan nilai nominal uangnya. Jerman merupakan negara pertama yang melakukannya. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah Jerman kala itu memutuskan untuk memangkas 12 angka 0 (nol) dari nominal uangnya!

Jika merunut dari tahun 1998, ada sekitar 10 negara yang melakukan redenominasi mata uangnya. Di antaranya termasuk Korea Utara, Rusia, dan Turki. Masing-masing memangkas jumlah angka yang berbeda.
Redenominasi 10 negara sejak 1998

Di antara negara-negara tersebut tidak semuanya berhasil menerapkan nominal barunya. Termasuk di dalamnya negara Argentina, Brasil, Ghana, Rusia, dan Zimbabwe. Penyebab kegagalannya antara lain:

  • Perekenomian yang tidak stabil.
  • Waktu implementasi kebijakan kurang tepat, khususnya dalam hal tren fundamental perekonomian di negara masing-masing.
  • Bank sentral terlalu ekspansif membiayai anggaran pemerintah (Zimbabwe).
  • Kebijakan fiskal ekspansif (Brasil dan Zimbabwe) .
  • Stok uang baru tidak tersedia saat warga ingin menukarkan uang (Rusia, Argentina, Zimbabwe, serta Korea Utara).
  • Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.
Indonesia sendiri belum pernah melakukan redenominasi. Kebijakan moneter yang pernah diambil adalah sanering. 

Sanering merupakan kebijakan pemotongan nilai uang sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat.
Kala itu, kondisi perekonomian sedang tidak sehat, sehingga pemerintah akhirnya mengambil kebijakan sanering yang dikenal dengan “Kebijakan Gunting Syafruddin” untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat harga yang melonjak.

Sanering berbeda dengan redenominasi.

Pada kebijakan sanering, terjadi pemotongan nilai uang. Sebagai contoh, pada kebijakan sanering, uang senilai Rp1.000 akan berkurang nilainya menjadi (misalkan) Rp500. Nilai uang benar-benar berkurang. Sehingga jika sebelumnya masyarakat bisa membeli sebuah kerupuk dengan uang Rp1.000 –nya, maka setelah sanering berlaku, uang Rp1.000 tersebut akan dipotong nilainya menjadi Rp500 sehingga tidak mampu lagi membeli sebuah kerupuk. Pada kebijakan ini, harga tidak menyesuaikan sehingga daya beli masyarakat akan menurun.

Sedangkan pada redenominasi hanya terjadi pemotongan nominal, nilai uang tetap. Contohnya, pada kebijakan redenominasi terjadi pemotongan 3 digit nominal uang, sehingga uang Rp1.000 berubah menjadi Rp1. Walau pun tampilan nominalnya berbeda, nilai uang ini tetap. Jika sebelumnya warga bisa membeli kerupuk seharga Rp1.000 maka setelah kebijakan sanering masyarakat tetap bisa membeli kerupuk dengan Rp1 (uang rupiah baru). Pada kebijakan ini, harga-harga akan menyesuaikan sehingga daya beli masyarakat tetap.

Kebijakan redenominasi dinilai akan memudahkan pencatatan keuangan. Dari nominal jutaan rupiah akan berubah menjadi ribuan rupiah tanpa mengurangi nilainya.

Lalu bagaimana kabar rencana pemerintah untuk melaksanakan redenominasi yang sudah sejak lama menjadi wacana ini?

Gubernur Bank Indonesia terpilih untuk periode 2018 - 2023, Perry Warjiyo, mengakui, rencana perumusan mengenai redenominasi mata uang garuda tersebut sebelumnya sudah disampaikan kepada Pemerintah. Namun, untuk proses selanjutnya, BI masih menunggu arahan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan.

Sedangkan Menteri Keuangan saat ini, Sri Mulyani, masih menunda usulan RUU Redenominasi Rupiah tersebut lantaran masih belum menjadi prioritas.

Kita tunggu saja, bagaimana perkembangan selanjutnya. Apakah redenominasi rupiah akan direalisasikan atau kah tetap berkutat di meja rencana😊

Sumber:




No comments:

Post a Comment

Post terbaru

Bukan dari kertas! Uang kertas ternyata dibuat dengan bahan ini

Pernah merasa penasaran mengapa uang rupiah kertas yang selama ini kita pegang dan gunakan ternyata lebih tahan lama dari pada lembaran ...

Post Populer